© Jakarta Post/Severianus Endi |
Gemuruh
terdengar dari rumah-rumah pada hari Senin, 2 Agustus 2021 siang itu. Tangis
dan teriakan menjadi satu saat shuttlecock
yang dilayangkan Chen Jia dinyatakan out
oleh wasit. Indonesia seolah berhenti berdetak ketika akhirnya Greysia Polii
dan Apriyani Rahayu dinyatakan menang atas pasangan Tiongkok itu. Membawa
pulang satu-satunya medali emas bagi kontingen Indonesia dari Olimpiade Tokyo
2020.
Beberapa
jam setelah kabar yang menggetarkan Nusantara dan seolah membuat rakyatnya lupa
pada pilu Covid-19 barang beberapa detik itu, para pengusaha dan brand saling berbondong-bondong
memberikan apresiasi pada kedua srikandi ganda putri tersebut. Bukan hitungan
belasan juta lagi, angka-angka ratusan juta hingga miliaran Rupiah pun siap
mengalir deras ke Greysia dan Apriyani.
Medali
emas memang menjadi sebuah puncak tertinggi yang diidamkan oleh para atlet di
dunia.
Di
era modern ini, satu keping medali emas bahkan dihargai mulai dari Rp5,5
miliar, liburan gratis ke lima destinasi wisata, sebuah apartemen, tanah,
perawatan kecantikan gratis, iPhone 12 Pro Max hingga lima ekor sapi.
Sekumpulan hadiah yang mungkin bisa membuat setiap atlet siap pensiun dini.
Namun
medali emas justru berarti lain bagi seorang Nuryati.
Tak
ada aliran hadiah yang masuk ke rekeningnya meskipun dia memiliki satu keping medali emas sebagai seorang atlet. Nuryati bahkan harus rela menjual medali
emas, kepingan bukti curahan energi, tangisan dan waktu yang pernah dia korbankan,
hanya untuk bertahan hidup karena terpuruk dalam kemiskinan.
Kusta, Kutukan Purba yang Bikin Banyak Orang Terasing
Nuryati
memang tak pernah menjejakkan kakinya di Olimpiade, ajang olahraga yang paling
diidam-idamkan setiap atlet di Bumi ini. Medali emas yang dia peroleh pun hanya
dari ajang olahraga tingkat nasional. Tetapi medali emas tetaplah medali emas,
sebuah kebanggaan dan kepuasan luar biasa saat memperolehnya tetap dirasakan
Nuryati.
Nuryati - mantan atlet kini difabel OYPMK © solider.id |
Hanya saja kebanggaan meraih medali emas itu akhirnya menguap saat kusta menggerogoti
tubuhnya dan membuat dia terpuruk dalam kemiskinan. Bukan hanya sekadar dijauhi
oleh masyarakat, Nuryati yang kala itu divonis menderita kusta di usia 25
tahun, harus rela ditinggalkan oleh suaminya sendiri.
Kehilangan
harapan dan orang yang dia cintai, membuat tubuh perempuan kelahiran 1 Januari
1961 itu jadi sasaran empuk kusta untuk berkembang. Depresi yang mendera
membuat daya tahan tubuh Nuryati anjlok. Saat buah hatinya berusia lima tahun,
Nuryati pun masuk ke RS Kusta (RSK) Kediri .
Setahun
perawatan dan menjalani pengobatan, kehidupan Nuryati jelas berubah drastis.
Tak ada lagi tubuh kuat nan atletis yang selalu dia banggakan. Nuryati si
pecinta voli itu harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk kembali ke
gelanggang seperti sebelumnya, karena dia harus menjadi seorang difabel karena
kusta.
Pengidap Kusta tak Harus Dibedakan Kasta
Apa
yang dialami Nuryati itu mungkin hanya satu dari ribuan kisah pilu penderita
kusta lainnya di negeri ini. Hingga tahun 2017 lalu, Indonesia bahkan menduduki
posisi ketiga sebagai negara dengan jumlah penderita terbanyak yang mencapai 15.910
orang. Di mana posisi kedua diduduki oleh Brasil (26.875 orang) dan di
puncaknya adalah India (126.164 orang).
Meskipun
zaman sudah makin modern, para pengidap kusta seolah terkurung dalam stigma
masa lalu. Di mana kusta adalah sebuah penyakit yang tidak hanya tak nyaman
dilihat, tapi juga enggan untuk didengar. Hampir setiap pengidap kusta selalu
mengalami keterasingan, termasuk dari orang-orang terdekatnya. Tudingan bahwa
penyakit itu merupakan kutukan, semakin membuat pengidap kusta hidup dalam
penderitaan. Belum lagi keturunan-keturunan para penderita kusta pun ikut
dijauhi karena dicemaskan bakal menularkan penyakit sama.
Padahal
tahukah kalian kalau kusta bukanlah penyakit turunan? Lebih lagi kutukan?
Kusta
si penyakit sepanjang peradaban manusia yang sering disebut sebagai lepra atau morbus hansen adalah penyakit yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium
leprae. Menyerang kulit, sistem saraf tepi, selaput lendir saluran napas
hingga mata, kusta diperkirakan sudah berasal dari 2000 SM.
Penemuan kerangka penderita kusta tertua ini terjadi di Balathal, India saat penggalian di tahun 1994 – 1997. Dari riset yang dilakukan Gwen Robbins dan kelompoknya, uji karbon memperkirakan kalau kerangka itu sudah berusia minimal 4.000 tahun yang berasal pada masa tahun 2000-2500 SM. Tentunya penelitian Robbins ini semakin menguatkan kalau kusta adalah penyakit purba yang sudah melintasi generasi ke generasi peradaban manusia Bumi.
Ribuan
tahun menghantui manusia, kusta pun tiba ke Indonesia. Meskipun menurut Dr dr
Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK (K) selaku Ketua Kelompok Studi
Morbus Hansen Indonesia, negeri ini sudah mengeliminasi kusta secara nasional,
hingga akhir tahun 2018 masih ada 10 provinsi yang belum berhasil lepas dari
kusta.
Perlawanan
terhadap kusta ini seolah makin berat karena penyakit ini sudah menembus
batasan tembok klinis. Ya, morbus hansen
adalah masalah sosial karena stigma buruk masyarakat terhadap para penderitanya
seolah masih jadi PR besar di negeri ini.
Tak
hanya penderita, mereka yang sudah sembuh dan menjadi OYPMK (Orang yang Pernah
Mengalami Kusta), terutama dengan bekas-bekas di tubuhnya, akan selalu ditatap
ngeri. Ada banyak OYPMK yang dianggap masalah di masyarakatnya dan
dijadikan manusia rendahan.
Bukan
hanya penderita atau OYPMK, keluarga pengidap kusta pun ikut dikucilkan yang
membuat mereka kesulitan memperoleh akses kesehatan, lebih lagi diterima dalam
dunia kerja.
Mempunyai
bercak putih seperti panu yang justru tidak berasa, kusta juga bisa menimbulkan
bintil kemerahan di kulit hingga mati rasa karena saraf yang sudah dirusak.
Jika dibiarkan, kusta bisa membuat penderitanya mengalami disabilitas karena
kuman merusak jaringan saraf pada tubuh.
Apakah
kusta ini menular?
Tentu
saja!
Penyakit
ini bisa menular dari satu orang ke orang lain lewat droplet alias percikan cairan saluran napas seperti ludah atau
dahak ketika penderita batuk atau bersin. Hanya saja karena mycobacterium leprae ini tak bisa
menular dengan mudah dan butuh waktu lama untuk berkembang biak di dalam tubuh,
biasanya proses penularan kusta berlangsung selama bertahun-tahun.
Tak
heran kalau kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah mereka yang
tinggal di daerah endemik kusta dengan kualitas hidup yang buruk seperti tak
ada air bersih, tempat tidur tak memadai, asupan gizi buruk sampai kasus HIV.
Dr. Miftahul Jannah periksa pasien di Losari © kesmas-id |
Penderita Kusta, Sesama yang Berhak Jadi Setara
Tampilan
yang buruk baik saat menderita dan sudah dinyatakan sembuh, belum lagi jika
akhirnya jadi difabel, membuat para (mantan) penderita kusta selalu jadi
masyarakat kelas dua, termasuk dalam mengakses layanan kesehatan.
Tentu
perih rasanya jika tubuh yang ‘tidak sempurna’ harus berusaha ke sana ke mari,
hanya karena prosedur layanan kesehatan belum menerima penderita kusta
sepenuhnya. Belum lagi pelayanan kesehatan yang diperoleh dengan ogah-ogahan, harapan agar dipandang
setara oleh sesama manusia seolah masih jadi impian bagi OYPMK.
Namun
kini impian itu sepertinya sudah mulai terlihat jadi kenyataan.
Fakta
bahwa kusta bisa disembuhkan asalkan ada pelayanan, pengobatan dan perawatan
diri yang tepat, merajut asa kehidupan yang lebih baik dan bebas kusta jelas
bukan impian lagi.
Lantaran
penyakit kusta butuh diagnosis medis dan uji laboratorium, kalian yang mungkin
tengah mengidap atau kenal dengan penderita kusta bisa mengakses beberapa
layanan berikut ini:
Pertama,
kunjungi dokter penyakit infeksi karena memang di tangan merekalah berbagai
infeksi termasuk pada kulit bisa disembuhkan.
Kedua,
datang ke dokter kulit karena mau bagaimanapun juga, penderita kusta akan
mengalami gangguan kulit hingga kuku dan rambut.
Ketiga,
singgah di ahli imunologi berkualitas. Di mana ahli kekebalan tubuh ini akan
membantu melakukan diagnosis sekaligus mengobati sistem antibodi penderita
kusta.
Tidak
bisa dilakukan secara singkat, penderita kusta harus melewati dua tahapan utama
yakni pemeriksaan bakterioskopik dan histopatologis. Lewat berbagai terapi
khusus hingga obat-obatan selama setengah sampai dua tahun lamanya, kusta bisa
saja teratasi meskipun memang semua tergantung tingkat keparahannya.
Beberapa
obat yang kerap diresepkan dokter untuk penderita kusta adalah vitamin A untuk
menyehatkan kulit bersisik, menjaga penglihatan hingga kekebalan tubuh. Lalu
ada obat-obatan steroid supaya inflamasi yang diderita pengidap kusta berkurang
dan jaringan baru yang lebih sehat bisa tumbuh, hingga aneka antibiotik alias
MDT (Multi Drug Treatment) seperti rifampicin, dapsone dan clofazimine demi membunuh bakteri mycobacterium leprae.
Lantas
bagaimana dengan mereka yang ‘bertarung’ dengan kusta di rumah saja?
Dalam
kategori ringan, sejumlah vitamin kerap disarankan dokter untuk penderitanya
seperti vitamin B, C, D, E dan tentunya zinc.
Mengobati Kusta, Menyehatkan Indonesia
pemeriksaan pasien di Losari, Kabupaten Cirebon © kesmas-id |
Kini
demi memutus rantai masalah kusta, ada banyak inovasi yang ditawarkan
Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan yang terdekat dari masyarakat. Salah satunya terjadi di Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan. Melalui
Puskesmas Grati, program SURYA MAS JELITA (Sehat Untuk Berkarya Mandiri Bersama
Kelompok Jelang Eliminasi Kusta).
Dilansir
Dinkes Pasuruan, program SURYA MAS JELITA inipun mulai memperlihatkan hasil
yang signifikan. Di mana pada tahun 2008 ada 16 kasus kusta di Gati, yang
kemudian melonjak jadi 76 kasus di sepanjang 2009-2016. Pelonjakan ini sebagai
bukti tracing yang dilakukan sehingga
para pengidap kusta bisa memperoleh pembinaan.
Hasilnya
yang dilaporkan pada tahun 2017 itu, 50 di antaranya berhasil sembuh, dengan 30
orang sudah punya penghasilan sendiri, 12 orang bersedia jadi kader kusta dan
sisanya masih dalam perawatan.
Kobaran
api ajakan agar masyarakat Indonesia makin peduli dengan penderita kusta pun
juga dinyalakan oleh Kemenkes yang bekerjasama dengan NLR, serta organisasi
pemerhati kusta di Indonesia. Gerakan ini memang bertujuan mencipta lingkungan masyarakat inklusif
sehingga stigma negatif dan diskriminasi OYPMK bisa terhapuskan.
Turut
melibatkan Dinkes di wilayah Kabupaten/Kota, NLR mendorong lahirnya Desa
Sahabat Kusta, seperti dilansir Medcom.
Dengan
komitmen NLR di Indonesia yakni memperpanjang tongkat estafet penanggulangan
kusta di Tanah Air hingga mencapai 3 Zero (Zero
Transmission, Zero Disability, Zero Conclusion), NLR ikut memberi bantuan
teknis supaya kapasitas pengawas dan tenaga kesehatan kusta di tingkat
Kabupaten/Kota, bisa meningkat.
Kini
dengan nyala kecil lilin-lilin harapan di seluruh penjuru negeri, penderita
kusta dan para difabel OYPMK bisa memiliki harapan yang lebih baik lagi. Mimpi
mereka sebagai manusia untuk merajut asa dan kesuksesan tidak boleh lagi
dihalangi. Penderita kusta tidak boleh lagi mengalami diskriminasi dan
keterasingan, karena di pundak mereka pula, negeri ini meletakkan citanya.
Jadi,
jangan lagi ada kusta di antara kita!
Sumber:
- https://www.solider.id/baca/4182-perjuangan-nuryati-mantan-atlet-difabel-kusta-meraih-sukses
- https://jeo.kompas.com/penyakit-tertua-di-dunia-dengan-gejala-seperti-panu-itulah-kusta
- http://kesmas-id.com/jangan-ada-kusta-di-antara-kita-kisah-pengalaman-dokter-pencerah-nusantara-di-sudut-pantura/
- https://www.antaranews.com/berita/1700786/kemenkes-gandeng-organisasi-masyarakat-hilangkan-diskriminasi-kusta
- https://www.medcom.id/rona/kesehatan/4KZR8QqK-hilangkan-diskriminasi-pasien-kusta-kemenkes-gandeng-ngo4.html
- http://news.unair.ac.id/2020/01/29/indonesia-masih-duduki-posisi-ketiga-tertinggi-kusta-pakar-unair-kita-semua-bertanggung-jawab-dalam-eliminasi-kusta/
- #PodcastSUKA "Suara untuk Indonesia bebas Kusta"
13 Komentar
Miris kalau baca kisah Nuryati, emang gitu ya atlet jaman dulu seperti kurang dihargai saat ini. banyak kisah seperti beliau.
BalasHapusBenar sekali kusta bukan penyakit kutukan, tapi stigma negatif masyarakat sudah sangat mengakar. Harusnya perlu edukasi lagi biar lebih banyak inovasi yang bisa dilakukan.
Semoga makin banyak lagi program seperti Surya Mas Jelita yg bermanfaat utk penyadang kusta. Makasih sharingnya kak
BalasHapusDulu Kusta ini sempat jga jadi wabah di Indonesia ya, Tapi zaman sekarang, seiring ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, insyaAllah Kusta bisa diberantas.
BalasHapusMba, aku pernah nonton kingdom of heaven. disana diceritakan raja inggris yang bertugas di jerusalem menderita kusta hingga meninggal. darisana aku baru tau kalau kusta jaman dulu termasuk penyakit mematikan ( mungkin sampai sekarang ). tapi berkat kemajuan teknologi sekarang bisa disembuhkan ya, yang jadi pe er bersama tinggal menghapus stigma penderita dan yang sudah sembuh dari kusta
BalasHapusMungkin bukan Nuryati saja yang mengalami hal demikian, bnyk atlet juga yg dlsorot hanya sebatas saat elebrasi dan dapat penghargaan saja. Malangnya, ia bahkan tidak mendapati support setelah mendapati penyakit kusta melintang ditubuhnya.
BalasHapussemoga kita makin sadar dengan penyakit ini, dan tentunya masyarakat memberikan concern juga pada orang2 yang sakit, bukan dijauhi, tapi justru didekati ya.
Aku dulu ngiranya kusta ini ngga nular. Karena yg merawat pun keliatannya ngga pakai perlengkapan apa2 kayak perawat TB misalnya. Ohh ternyata nular dan cara penularannya beda sama TB yak..
BalasHapusYa Allah semoga kita senantiasa diberikan kesehatan aamiin
BalasHapusaku beberapa kali pernah tuh liat orang dengan kulit begitu, itu disebut juga kusta ya mba. Semoga kita semua bagian dari yang menjaga dan tidak justru menjauhi ya mbak
yang jadi nambah penderitaan buat orang-orang penyakit menular gini tuh sakit hatinya karena dikucilkan ya :( udh tubuhnya sakit ditambah lagi perlakuan orang yang kadang mengucilkan :(
BalasHapusSemoga mereka yang jadi penyintas kusta bisa diterima di masyarakat dan bisa tetap berkarya. Aamiin
BalasHapusBagi yg menderita penyakit kusta tidak utk dijauhi, penyakit ini bisa disembuhkan dgn obat herbal kok
BalasHapusYa Allah, ternyata kusta bisa jadi separah itu ya kalo nggak cepat ditangani. dan aku kira kusta itu penyakit yang hanya diderita perepuan aja, ternyata nggak kenal gender ya. Dan semoga mbak Nuryati dan para penderita kusta lekas diperhatikan ya, aamiin..
BalasHapusmemang mungkin sakitnya menular dan bisa jadi parah, tapi jangan dikucilkan gitu dong :( semoga segera ada penanganan bagi penderita kusta, aamiin..
BalasHapusAku paling suka membaca tulisan teh arai, bisa mengedukasi dengan sisi yang berbeda. Story tellingnya ringan tapi ngena. Sedih sekali memang fakta yang dialami BU Nuryati. Lebih lagi miris melihat fakta masih banyak penderita kusta di negeri kita.
BalasHapus